Fatalite Academy
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Login

Lupa password?

Similar topics
    User Yang Sedang Online
    Total 1 user online :: 0 Terdaftar, 0 Tersembunyi dan 1 Tamu

    Tidak ada

    [ View the whole list ]


    User online terbanyak adalah 22 pada Wed Jun 10, 2020 3:10 pm
    Poll
    Latest topics
    » Hello...Minna san~
    by choushirou kurogeha Fri Apr 03, 2015 3:18 pm

    » Shiritori~!
    by Arthady Kimaru Wed Aug 03, 2011 8:23 am

    » No Rules Require
    by Arthady Kimaru Wed Aug 03, 2011 8:23 am

    » Sketching around
    by Arthady Kimaru Thu Jul 21, 2011 9:53 am

    » Absence Absence XD
    by Arthady Kimaru Thu Jul 21, 2011 9:52 am

    » [Comment] Einsamkeit (Loneliness)
    by Arthady Kimaru Thu Jul 21, 2011 9:49 am

    » Let's Fangrilling!
    by Arthady Kimaru Thu Jul 21, 2011 9:48 am

    » Rikka here
    by Arthady Kimaru Thu Jul 21, 2011 9:45 am

    » [2nd Chara] Shion Runettes - 2 SMP
    by Wilhelm Runettes Mon Oct 18, 2010 9:42 pm

    Affiliates
    free forum

    Fatalite Photobucket affiliates image forumotion NeverworldNabari no Ou

    [FFic] Einsamkeit (Loneliness)

    Go down

    [FFic] Einsamkeit (Loneliness) Empty [FFic] Einsamkeit (Loneliness)

    Post by Wilhelm Runettes Sat Sep 04, 2010 10:02 pm

    Erh, cerita ini asal-asalan dan emang abal sekali ==b dan cerita ini saya ketik di HP. Kerajinan? Memang, nai~ kalau jelek, saya mohon maaf. (_ _) Oya, cerita ini dan karakternya adalah original ' ' alias ide buat komik saya~ silahkan muntah jika berkenan (_ _)


    Einsamkeit


    Featuring:
    Quester Qeyz
    Faldione Arcrescrent Strained Triumph

    The Story Based on 1600's era...


    ...


    Kota Night Glance, Inggris
    31 Desember 1626


    Dingin. Hamparan salju yang putih terlihat membentang didaerah itu. Seharusnya begitu, anak-anak berlari sambil bermain lempar salju, bahkan ada yang berbagi kehangatan didepan tungku perapian sambil menantikan kedatangan Tahun Baru.

    Kini...

    Tidak. Tidak ada keceriaan yang terlihat ditempat itu. Sama sekali tak nampak suasana gembira dan gelak tawa mereka yang selalu terdengar. Tapi mengapa? Apakah ada sesuatu yang telah terjadi di Kota ini?

    Ya. Tak seorangpun menduganya... Semua itu telah musnah. Rerutuhan bangunan menjadi saksi bisu tragedi mengerikan itu. Bukalah matamu, dan lihatlah akibat dari kejadian ini. Gelimpangan makluk tak bernyawa, tidak... Tempat ini sudah menjadi tempat yang mengenaskan. Kebahagiaan yang slalu ada, kini berganti menjadi penuh tragedi tiada habisnya.


    ...


    Itulah yang dipikirkan olehku, seorang pemuda malang ini. Aku terduduk di antara gang sempit sambil meringkuk. Tubuhnku yang ditutupi oleh kain lusuh itu agak gemetar karena kedinginan. Kacamata bulat milikku tertutup embun membuatmu susah mengenaliku. Aku tak ingin semua ini terjadi, tetapi sebenarnya baru saja dimulai.

    Menghela nafas, kepulan asap keluar dari bibirku yang pucat. Tangan ini memegangi perut yang sudah tak mendapat asupan makanan selama seminggu penuh. Angin malam bertiup kencang, sementara pemuda sepertiku pasti tak akan bisa bertahan terlalu lama. Mencoba bangun dan berjalan keluar dari gang tersebut, sementara tenaga sudah tidak ada lagi.

    Pandangannya jadi gelap, perlahan kedua matanya terpejam. Aah, sudah tidak ada harapan lagi bagi pemuda malang sepertiku. Terkulai lemas diatas hamparan salju, tubuhku bergetar pelan. Perlahan sedikit membuka kedua mata. Terdengar suara keletakan kuda. Mungkin itu hanya para bangsawan sedang mengitari pusat kota itu. Dapat dilihat secara samar-samar, seorang pemuda bersurai perak berteriak kepada beberapa orang.

    "Bertahanlah!"

    Aah, siapakah gerangan orang baik yang akan menolongku? Kini saatnya beristirahat sebentar. Sementara aku tak menyadari apa yang telah terjadi. Rasanya ingin kuucapkan terimakasih karena menyelamatkanku.


    ...


    "Hei, kau sudah sadar?"

    Suara siapakah itu? Aku tak mengenali suara asing itu. Kubuka kedua mataku, kini dapat kulihat wajah sesosok pemuda beriris merah disampingku. Tanpa kusadari kacamataku telah dilepas olehnya. Aku mengubah posisi jadi duduk. Iris dwiwarnaku menatap sekeliling, kutangkap bayangan kacamata bulatku terletak diatas meja kecil tepat disampingku. Kaget, langsung aku menyambar kacamata itu tanpa berbicara lagi dan mengenakannya. Betapa malu diriku ketika iris dwiwarna berwarna biru dan hijau ini terlihat dengan jelas oleh orang lain. Mengangguk pelan sebagai jawaban.

    "Tenang, aku tak bermaksud jahat padamu."

    Pemuda itu jelas menunjukkan senyuman itu padaku. Aku menatap pakaianku yang telah berganti. Luka ditubuhku juga sudah dibalut dengan perban secara rapi. "Terimakasih karena menolongku," ucapku pelan dan datar. Tidaklah seharusnya bersikap seperti itu didepan seorang 'Tuan Muda'. Tak berekspresi, seakan-akan tak bernyawa. "Maaf atas kelancangan saya."

    Pemuda yang berada disisiku menggeleng pelan. Entah mengapa, ia sama sekali tak bereaksi seperti yang kupikirkan. Yang ia tunjukkan hanyalah senyuman dengan perasaan hangat. Tak dapat kukira, baru kali ini kutemui seseorang yang menoleh padaku, memberi rasa simpatik yang menurutku berlebihan. Dari auranya saja aku merasa bahwa dia sangat berbeda dengan orang-orang yang pernah kutemui.

    "Namaku Faldione. Siapa namamu?"

    "....." tak sepatah kata keluar dari bibirku.

    "Kau pasti punya nama, kan?"

    Anggukan pelan, "...tapi aku sudah tak ingat lagi."

    "Kalau begitu," pemuda ini menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Rumahmu dimana?"

    "Tidak punya,"

    "Keluarga?"

    "..." menggeleng.

    "Kau sendirian?" tatapan penuh rasa khawatir dan tak percaya dengan semua jawaban yang kulontarkan. "Tinggal di luar sana?" ekspresi mengernyit. Aku tak bergeming, lagipula memang seperti itu. Toh, aku tak hidup, juga tak mati. Hidup bagaikan jiwa tak bertuan yang berkeliaran kesana-kemari tanpa ada yang mempedulikanku.

    "Ya," jawabku datar dan tanpa perasaan. Lihat saja, keadaan penuh luka dan kurus bagai tulang membungkus kulit, menahan rasa sakit dan lapar sambil meringkuk tak berdaya di antara gang sempit dan gelap, mencari harapan yang belum kunjung datang. Dari balik kacamataku, dapat kuperhatikan dengan seksama ekspresi penuh haru diwajah sang pemuda.

    Tanpa berkata apa-apa lagi, tangannya yang hangat memeluk tubuhku yang kurus ini. Rasa hangat seketika bergemuruh didalam diriku. Terasa sangat pedih, sekaligus senang. Mengapa ia peduli padaku? Padahal aku bukanlah siapa-siapa. Ya Tuhan, akhirnya kudapatkan kembali perasaan yang kurindukan selama ini. Kurasakan tangannya medekapku erat dan penuh kasih sayang. Hangat, nyaman... 

    Semua kenangan manis itupun bermunculan kembali, membuatku dapat tersenyum. Bukan senyuman kebencian, melainkan senyuman rasa senang. Sayup-sayup terdengar suara bisikan oleh pemuda baik hati ini, membuatku agak geli dengan hembusan pelan ditelingaku ketika ia berkata.

    "Kau boleh tinggal disini... Akan lebih baik daripada kau menghabiskan sisa hidupmu diluar sana."

    Perkataan itu terasa bergema di ruangan ini, lambat laun memberikan cahaya yang selalu menerangi jiwaku. Rasa percaya diriku telah kembali muncul. Rasa senang, sedih, bingung, semua menjadi satu. Tanpa kusadari, sebuah kalimat terlontar dengan sangat pelan seakan berbisik,

    "Terimakasih, tapi..." ucapanku terhenti sejenak, memikirkan apa yang sebenarnya ingin kusampaikan? Perasaan senang? Sedih? Kalau bukan keduanya, lantas apa?

    "Saya tak pantas mendapat perlakuan seperti ini."

    Tolakan halus yang bisa dibilang cukup terang-terangan. Kudorong pelan tubuh pemuda itu, sementara aku memalingkan wajah. Entah ekspresi apa yang ditujukan, aku tak sempat melihatnya. Faldione hanya tersenyum, cengiran lebar diwajahnya dan sebuah uluran tangan tertuju padaku.

    "Tenang saja! Kan ada aku!" ucapnya yakin, aku mengangkat wajahku, memberanikan diri untuk menatapnya. Ada apakah gerangan? Mengapa ia tak marah? Aku terdiam tanpa ekspresi. "Mulai sekarang, kau akan menjadi pelayan sekaligus kawanku."

    "...kawan?" aku mengulang kata-kata terakhir yang diucapkan olehnya. Kawan, rasanya pernah dengar. Tapi dimana? Siapa yang telah mengucapkan kata-kata itu? Kapankah? Aku bergumam, tentu saja karena tak mengerti. Maklum saja, ingatanku sudah lama hilang. Tak tahu pasti kapan itu terjadi. "Kawan itu...apa?" tuturku penasaran.

    "Itu artinya..." Faldione mengangkat sebelah tanganku, dan membuat satu tepukan kecil karena tangan kami yang saling bertemu. Aku terheran, sementara cengiran polos tersungging dibibirnya, "Kita teman baik!". Aah, aku mengerti sekarang. Sebuah kaitan tali persaudaraan diantara kami berdua yang takkan pernah kulupakan... Kawan.

    Wajahku tersipu malu karena senang, baru kali ini ada seseorang yang mengucapkan kata-kata seperti itu padaku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, sebuah senyuman kecil diwajahku. Aku sekarang tahu, bahwa aku bukanlah boneka tak berperasaan, tapi aku adalah... Teman baginya. Kepalaku mengangguk kecil, "Terimakasih."

    Faldione yang beranjak dari tempat tidur sekarang tengah berpikir, irisku hanya bisa menatap sosoknya yang berdiri dan bersandar ditembok sambil melipat tangannya. Sekali lagi, pecahan ingatanku terbesit walu hanya sepintas. Terlihat ketika aku tengah bersenda gurau dengan seseorang, yang samar-samar sudah lama kulupakan.  

    "Hm... William... Jacob... Raven... Siapa ya?" gumam si surai perak, ia memutar tubuhnya menghadap jendela. Jemarinya menyentuh kaca yang dingin sambil menatap pemandangan salju diluar sana. "Err... Kau punya-"

    "Quester Qeyz..." ucapku pelan. Aku memegang kepalaku. Quester Qeyz? Itu nama siapa? Apakah itu adalah nama yang telah kulupakan? Itukah namaku? Mengapa aku tahu akan nama itu? Kucoba mengingat semua kenangan itu semampuku. Benarkah nama itu adalah milikku?

    Faldione terdiam menatapku, lalu tersenyum. "Kau sepertinya sudah bisa mengingat namamu sendiri, ya." ia menghampiriku, dan mengulurkan tangan, "Salam kenal, Qeyz. Senang bisa berkenalan denganmu." Aku menyambut uluran tangan itu, dan tersenyum. "Senang bisa bertemu denganmu juga, Fal."


    Akhirnya kutemukan, orang yang menyadari keberadaanku disini.



    .:-------------------------:.
     


    "Ayo coba senyum, sekali saja~" 

    "..." menggelengkan kepala.

    "Ayolah, kemarin kau bisa tersenyum."

    "..." menggeleng lagi.

    "Tersenyumlah, seperti ini. Nii~" Fal dengan gemasnya mencubit kedua pipiku dan menunjukkan wajah konyol.

    "Hentikan, sakit tau." gerutuku tak berekspresi.

    "Tersenyum dulu, baru aku berhenti~" godanya. Jujur saja, dia benar-benar konyol.

    Aku menyeringai, membalasnya dengan cubitan juga. "Hmmm... Enak, kan?"

    "Kau aneh, sangat aneh." ia tertawa dan melepaskan cubitan. Awalnya aku hanya terdiam, lama kelamaan aku terbawa suasana dan ikut tertawa dan melepas cubitan. Padahal, tak ada seorangpun yang bisa membuatku tertawa selama ini,

    "Ahahahaha! Kau juga lucu, Fal." rasanya ucapanku ini terdengar tidak sopan. Setelah kusadari hal itu, langsung aku tertunduk malu.

    "Akhirnya kau tertawa juga," Fal terkekeh pelan, kemudian ia mengacak-acak rambutku. Para maid yang berkeliaran hanya tersenyum melihat tingkah kami berdua. Aku senang, karena untuk pertama kalinya hidupku seakan tanpa ada beban. Aah, hidup ini begitu indah setelah kuhabiskan bersamanya. Aku senang, bahagia, merasa bahwa hidup ini menjadi berwarna.

    Inikah rasanya?

    Seorang pemuda sepertiku, tidaklah selalu menjadi seseorang yang tak berarti. Aku hanyalah manusia hina. Yang pada akhirnya mendapat sebuah uluran tangan, menolong jiwaku yang tersesat didalam kegelapan. Seakan-akan, terdapat suatu benang tak terlihat membimbingku untuk terus melangkah, dan bertemu dengannya.



    Kalau kau tak bisa bangkit, maka tangan kiri ini akan menjadi pegangan untukmu...
    Wilhelm Runettes
    Wilhelm Runettes
    Admin

    Posts : 41
    Join date : 29.08.10
    Age : 27

    Character sheet
    Character name: Wilhelm Runnetes
    Class: Vice Principal
    SP: STR = 9 DEF = 10 AGI = 10 INT = 10 INS = 10

    http://www.rulerofnabari.co.nr

    Kembali Ke Atas Go down

    [FFic] Einsamkeit (Loneliness) Empty Re: [FFic] Einsamkeit (Loneliness)

    Post by Wilhelm Runettes Mon Sep 06, 2010 11:47 pm

    3rd's POV


    -Einsamkeit (Loneliness)- Part II (Part 1 of 2)


    "Hei, bisakah kau dengar... Melodi yang menyedihkan ini?"


    ..."Ini apa?"

    Tangannya yang kurus menyentuh dengan hati-hati sebuah benda yang kini ada dihadapannya. Deretan tuts berwarna hitam dan putih tersusun begitu rapi dan berdenting ketika ditekan. Entah mengapa ia menjadi begitu penasaran dengan apa yang ada dihadapannya. Sebenarnya Qeyz mengetahui hal itu, tapi ia telah melupakannya. Lupa karena apa? Mengapa dia melupakannya?

    Faldione menghentikan permainannya dan menoleh pada Qeyz yang berdiri disebelahnya. Tersenyum, hanya itu yang bisa dilakukan kawannya, "Ini namanya Piano." Tentu saja si Tuan Muda ini memakluminya, toh pelayannya memang sudah melupakan semua yang ia ketahui. Semua kenangan itu seakan lenyap begitu saja. Benar-benar takdir yang kejam. "Kau mau mencobanya?"

    Kepalanya mengangguk pelan, tatapannya begitu lurus seakan menerawang masuk kedalam piano. Ia duduk tepat disebelah Faldione, semua jemari tangannya yang kurus menyentuh deretan tuts itu. Menghela nafas, jemarinya menari-nari diatasnya dengan mudah. Lantunan melodi yang menyedihkan, tak berjudul, bagaikan pisau yang menyayat hati. Seketika suara itu menggema didalam ruangan. Faldione yang ada disampingnya terpukau.

    "Aneh ya... Padahal aku tak mengerti apa-apa memgenai piano," tutur Qeyz jujur sambil terus memainkan lantunan lagu yang terdengar sedih. Benar-benar melodi yang memyedihkan. Tetesan keringat mengucur, setiap detiknya menaikan tempo. Tapi, dengan mudahnya terlukis sebuah senyuman diwajahnya.

    "Kakak, ayo mainkan lagu itu sekali lagi!"

    "Teruslah bermain, Nak. Buatlah kami bangga." 

    "Kau hebat, Qeyz... Aku suka sekali lagu ciptaanmu itu."

    Aah, kini terlintas kenangan-kenangan manis didalam benaknya. Memejamkan mata, ia tersenyum puas. Walau terdengar asal-asalan, namun baginya ini adalah sebuah mahakarya yang luar biasa hebat. Sekaligus mengubah hidupnya itu. Sebuah bakat yang menjadi anugerah baginya tanpa disadari malah menjadi pedang yang terhunus kepada orang yang disayanginya.

    Nyuut!

    "Ukh!" kehilangan konsentrasi, menghentikan permainan. Kepalanya terasa pusing, semua menjadi gelap. Faldione menangkap tubuh Qeyz yang hampir ambruk itu, tentu saja penuh rasa khawatir. Ia memanggil nama Qeyz berkali-kali. Tak ada suara yang keluar dari bibir pemuda ini. 


    .:-------------------------:.


    "Qeyz... Kau dengar suaraku?"

    Lagi-lagi, kejadian yang sama terulang. Qeyz perlahan membuka matanya. Penglihatannya agak buram, ada sosok Faldione yang terlihat...khawatir. Sebenarnya apa yang terjadi disini? Yang diingat hanyalah setelah melantunkan sebuah lagu, kepalanya pusing dan...ia tak bisa mengingatnya lagi. Aah, sial benar ia hari ini. Melihat sekelilingnya, sepertinya kini ia dikamar Faldione lagi. Baru saja Qeyz berusaha duduk, geraknya dicegat oleh sang Tuan Muda.

    "Istirahatlah, kau terlalu memaksakan diri." ucapnya pelan sekali. Langsung Fal menempelkan saputangannya yang basah didahi Qeyz, membimbing tangan Qeyz untuk menekan sendiri saputangannya. "Kompres dirimu dengan itu, kalau ada apa-apa panggil aku ya." Tersenyum, tangannya yang dingin membelai kepala sang pelayan dengan lembut. Belum sempat mengucapkan terimakasih, Fal sudah keluar dari ruangan.

    Menghela nafas. Qeyz hanya bisa terbaring diatas tempat tidur. Waktu terus bergulir dan tak ada yang bisa ia lakukan. Pada akhirnya ia melepas kacamatanya dan meletakannya diatas meja yang berada disebelah tempat tidur. Iris dwiwarnanya menatap langit-langit ruangan. Terlintas dibenaknya untuk mencari suatu kegiatan yang dapat dilakukan olehnya, paling tidak membaca buku atau apalah. Diam-diam ia beranjak dari tempat tidur dan menuju sebuah tempat yang paling strategis menemukan beberapa buku, sebuah rak buku yang ada disudut ruangan.

    "Umh," agak lunglai karena kondisinya yang belum membaik. Yah, Qeyz memang agak lemah dan sering sakit-sakitan waktu kecil--sepertinya. Ditatapnya rak yang menjulang tinggi itu, begitu banyak koleksi yang dimiliki tuan mudanya itu. Ketika sedang mengambil sebuah buku, selembar kertas lusuh yang rupanya terselip terjatuh ke lantai. Penasaran, Qeyz memungutnya.

    ..."Foto keluarga?"

    Ya, seperti yang dikatakan Qeyz. Kertas yang ditemukannya adalah sehelai foto keluarga. Menatapnya seksama, ada gambar Faldione kecil bersama seseorang pria dewasa yang tengah menggendongnya. Tapi mengapa foto itu ada disana?

    "Ini... Faldione dan ayahnya?"

    Sambil meneliti dengan seksama, tanpa disadari Fal sudah ada dibelakangnya memasang ekspresi datar dan tak berekspresi. Seperti kesal ketika Qeyz menemukan selembar foto itu. Tangannya mengepal tanda ia kesal dan geram. Tanpa basa-basi ia menegur Qeyz. "Apa yang sedang kau lakukan... Qeyz?"

    "...Eh?" Qeyz bergidik, ia takut kalau Faldione akan mencaci maki dirinya karena seenaknya saja mencari buku orang tanpa izin terlebih dahulu. Menoleh, iris dwiwarnanya menatap iris milik Fal dengan datar, walau sebenarnya didalam hatinya masih ragu.

    Apakah yang sedang terjadi?


    Pada akhirnya, hubungan ini akan rusak. Jadi kumohon, maafkanlah aku.




    TBC, nai... maap kalo gaje... Lagi nggak mood... (_ _)
    Wilhelm Runettes
    Wilhelm Runettes
    Admin

    Posts : 41
    Join date : 29.08.10
    Age : 27

    Character sheet
    Character name: Wilhelm Runnetes
    Class: Vice Principal
    SP: STR = 9 DEF = 10 AGI = 10 INT = 10 INS = 10

    http://www.rulerofnabari.co.nr

    Kembali Ke Atas Go down

    [FFic] Einsamkeit (Loneliness) Empty Re: [FFic] Einsamkeit (Loneliness)

    Post by Wilhelm Runettes Fri Sep 10, 2010 6:56 am

    Faldione's POV


    -Einsamkeit (Loneliness)- Part II (Part 2 of 2)

    "Semurni apapun hatimu, pasti akan ternodai juga."


    Banyak orang mengatakan, tatapanku ini sangatlah tajam menohok hati. Aku tak pernah bermaksud begitu, aku hanya butuh rasa kasih sayang seorang Ayah. Tapi, mengapa ia menolak keberadaanku? Kalau begitu, mengapa aku terlahir ke dunia ini? Tak ada seorangpun ingin menoleh padaku. Yang kudapat hanyalah siksaan, cacian, hingga semua itu berakhir ketika 'dia' pergi dari hadapan kami.

    "Ayah, dengarkan a--!"

    "Jangan sebut aku ayahmu! Anak tak tahu diri!"

    Kini, semuanya telah berakhir. Aku bukan siapa-siapa lagi baginya. Menghela nafas,  yang bisa kulakukan saat ini adalah melupakan semua kenangan pahit itu. Lupakan dirinya, namanya, wajahnya. Aah, memikirkan hal ini membuatku muak. Tapi aku senang karena tak perlu bertemu dengannya lagi.

    Bayangan yang kutangkap sekarang adalah sosok Qeyz yang tengah tertegun, takut padaku. Walau dirinya berusaha menutupi semua itu, dapat kupastikan ia ragu untuk berhadapan denganku. Ia memutar tubuhnya dan sekarang Qeyz terdiam menatapku. Sekali lagi menunjukkan tatapan tanpa ekspresi padaku. Hm, hidup ini terasa membosankan.

    ..."Kubilang, apa yang sedang kau lakukan?" mengulang pertanyaan yang sama sekali lagi. Apakah kau harus membayar untuk menjawab sepatah dua patah kata, hah?

    "Hanya mencari bacaan, kenapa memang?" nada yang datar, ekspresi yang tak mencerminkan dirinya hidup. Aku mengernyit ketika ditangan kirinya terdapat selembar foto yang paling kubenci seumur hidupku. Segera kurebut foto itu dari tangannya dan menatapnya sebentar.

    ..."Bedebah ini..."

    Merobeknya menjadi dua, empat, enam, delapan, hingga menjadi bagian yang kecil sekali. Membawa serpihan-serpihan itu ditangan kiriku, aku segera beranjak menuju jendela dan membukanya. Menyeringai, kusebarkan serpihan itu keluar hingga berterbangan. "Foto brengsek ini tak semestinya ada."

    "Tuan, kenapa kau...?" Qeyz tentu saja terheran, ia seraya mendekat padaku, entah ada apa dengan diri ini seakan-akan dibenakku Qeyz adalah orang 'itu'. Menoleh padanya dan menatap tajam. Mungkin akal sehatku sudah hilang dan membuatku berhalusinasi seperti ini. Biarlah, meskipun diriku ini hancur yang penting... Aku bisa tersenyum, kan?

    "Berisik!" kutepis tangan pemuda yang akan menyentuhku ini. Tersadar akan kejadian itu membuatku bersalah. Seketika ruangan hening. Leherku panas, kepalaku sakit, aku seharusnya berkonsentrasi. Bukannya membentak pemuda yang menjadi 'kawan'ku ini. "Maaf, aku tak sengaja."

    Anggukan pelan, "Tak apa. Aku sudah biasa diperlakukan seperti itu." ucapnya tanpa senyuman. Tangan kurusnya memungut buku yang sempat terjatuh dan mengembalikannya pada rak buku. Tak terlihat, senyumannya sama sekali tak terlihat. Sedihkah? Marahkah? Apakah aku membuatnya kesal hingga ia mendiamkan aku seperti ini?

    Hanya bisa mengulum senyuman, aku menghampiri tubuhnya yang kurus itu. Tepat dibelakangnya, kudekap dirinya dengan penuh kasih sayang. Kubelai surai hitamnya lembut, dan mengecupnya pelan. "Maafkan aku... Telah membuatmu kesal, Qeyz..." permohonan maaf sekali lagi. Kali ini bukan karena dendam atau apa, diucapkan dari hati tidaklah selalu sama maknanya dengan apa yang kau ucap di bibir.

    Kurasakan tanganku ini di sentuh olehnya, entah apa yang akan dilakukan pemuda ini. Dibawanya tanganku pada belah pipinya, begitu hangat dan lembut. "Kau tak perlu meminta maaf padaku. Kau tidak salah." tuturnya tulus. Tangannya melepas pelukanku, dan dia mencoba beranjak dari sana. Tidak, Qeyz tak akan lepas dariku. Sekarang dan selamanya.

    Kutarik tangan itu hingga membuat tubuhnya terjatuh menabrak rak, kepalanya pun terbentur cukup keras. "Sa-sakit..." mengerang pelan. Mengelus bagian kepalanya yang terbentur, untung saja tidak mengalami luka. Aku mendekat padanya dan menyentuh wajahnya dengan jemariku.

    "Hei, Qeyz..." tangan kiriku menahan lututnya, sementara wajahku mendekat padanya. Dapat kurasakan nafasnya yang terengah-engah di leherku, wajahnya memerah padam. Aku hanya bisa berbisik ditelinganya, "Maukah kau..." belum menyelesaikan kalimatku. Ia memejamkan mata karena takut terjadi hal buruk. Tersenyum manis, aku menunjukkan sesuatu padanya. "Menemaniku?"

    ".....hah?" Qeyz terheran, mungkin ia mengira aku akan berbuat aneh-aneh. Dan tahukah kau apa yang kuberikan? Hanya permen dengan rasa cokelat yang kebetulan ada didalam saku milikku. Terkekeh pelan, aku memang suka menjahilinya. Tidak sampai disini saja perlakuanku padanya. Masih ada satu yang tersisa, ya...satu lagi. 

    Tak lama akhirnya bibirku menyentuh organ merah miliknya. Memberi sebuah ciuman manis yang tak berbahaya, sebetulnya. Tangan kananku mengangkat wajahnya yang merah merona, kubuka sedikit mulutnya agar aku dapat memainkan lidahnya. Saling melumat satu sama lain, sementara air liur kami menyatu dan menjadi 'minuman' untuk pelayannku. Tak peduli usia kami masih terbilang muda, yang pasti aku tetap menikmati betapa manis dan lembutnya pemuda ini.

    Cengkraman kuat di bahuku, aku tahu pasti ia akan melakukannya. Desahan lirih sayup-sayup terdengar samar, memintaku untuk berhenti. "Ngh...Tu-tuan...umh..." terdengar desahan 'Tuan' dari bibir pucatnya. Hei, bersabarlah. Izinkan aku menikmati setiap jengkal pada tubuh mungilmu ini sebentar saja.

    Perlahan aku melepas ciuman, tersenyum menatap si pemilik iris dwiwarna. Wajahnya masih merah merona, tampak manis. Aku mengangkat dan menggendong tubuhnya dengan cara bridal, mengecup dahinya."Ayo kita ke tempat tidurku... Kau mau kan, Qeyz?" ucapku lembut, lalu aku mengancamnya dengan bisikan.

    "Kalau tidak kau akan kusiksa, lebih dari ini... Dengan sangat menyakitkan..."

    Tersenyum penuh arti, padahal aku hanya bercanda. Yah, dengan rasa takut Qeyz hanya bisa mengangguk pelan. Jelas saja ia gemetar ketakutan. Kedua tangannya memeluk dirinya sendiri. Aku terdiam, kemudian membaringkannya diatas tempat tidur.  "Maaf, aku membuatmu takut ya..." tuturku pelan.

    Tersenyum lirih, aku beranjak dari tempat tidur. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang menarik pakaianku, yang tak lain dan tak bukan adalah Qeyz. Ia mengubah posisinya menjadi duduk. "A-aku...akan mengikuti perintahmu, Tuan..." ucapnya ragu. Sungguh, ia terlalu setia padaku. Merasa senang, sekaligus aneh. Kembali duduk disebelahnya, mendekatkan bibirku dilehernya sementara tangan ini mengelus pinggangnya. "Hmm... Tubuhmu hangat."

    Qeyz agak mengernyit, ia menelengkan kepalanya agar aku bisa leluasa. Dengan lembut bibirku menciumi lehernya, sementara tangan ini perlahan melepaskan tiap kancing kemeja yang digunakan olehnya. Tangan ini meraba tubuhnya secara perlahan tapi pasti. Kudorong tubuhnya agar kembali berbaring. Menyeringai, aku meraih seutas tali yang cukup panjang dari laci meja kecil yang ada disamping tempat tidur.

    "Pejamkan matamu sejenak, Qeyz." ucapku berbisik ditelinganya.

    "U-untuk apa?" masih ragu, ia memalingkan wajahnya.

    "Oh, jadi kau memaksaku, eh?" menyeringai, dengan sigap aku langsung saja mengikat kedua tangan Qeyz pada sandaran tempat tidurku. Aku menanggalkan kemeja pelayanku ini tanpa ada beban--merobeknya.

    Dan hal ini rupanya malah membuatnya heran, "Tu-tuan... Kenapa diikat?" ia mencoba menggerakan kedua tangannya, sayang sudah dikekang begitu kuat.

    Tanpa jawaban, aku hanya tersenyum. Menciumi tubuhnya, dan meraba tubuhnya dari atas hingga bawah. Benar-benar kehilangan akal sehat. Rasanya ingin aku menyentuh dan menikmati tubuh ini sesering mungkin. Hal ini merupakan dosa besar, aku tahu itu. Berhubungan dengan sesama jenis? Aku tak peduli. Toh, hidupku sudah hancur, diri ini hanyalah sampah. Masa bodoh jati diriku sebagai penerus keluarga hancur. Asalkan bisa selalu bersama dengannya sudah cukup...

    Rasanya tak adil jika hanya pemuda malang ini yang bertelanjang dada. Aku menghela nafas, kemudian menanggalkan jas serta kemeja putih yang kukenakan. Perlahan melepas pita berwarna biru yang terikat dirambutnya. Sekarang kami hanya bisa saling memandang, jemariku menyentuh dengan hati-hati pada luka yang tidak kusadari sejak kemarin. Sayatan pisau pada lehernya.

    Mengernyit, "ini..." aku masih belum percaya dengan apa yang kusentuh sekarang.

    "Sepertinya...seseorang telah menganiayaku dulu." ucapnya pelan, seperti orang yang sudah siap untuk kehilangan nyawa. Aku jadi kembali teringat dengan orang yang tak akan pernah menganggapku sebagai anaknya sendiri. 

    "Kau benar-benar anak yang beruntung, Fal..."

    "Diam..." gumamku pelan. Sangat pelan.

    "Menjadi keturunan bangsawan sepertimu bukanlah hal yang mudah..."

    "Diam..." sekali lagi, aku bergumam. Seakan-akan tak ingin mendengarnya. Bukan ucapan Qeyz, melainkan ucapan orang tua tak tahu diri itu. Mengapa? Mengapa semua itu kembali menghantuiku?!

    "Kau tahu, aku senang bisa menjadi pelayan, dan temanmu."

    "Diam." aku berteriak pelan. Menutup kedua telingaku. Ucapan-ucapan tak enak untuk didengar terus terngiang.

    "Jangan sebut aku ayahmu! Anak tak tahu diri."

    "Diam!"

    "Menjijikkan. Jangan pernah muncul dihadapanku."

    "Diam!!"

    "Apapun yang terjadi pada 'itu', bukan urusanku."

    "Kubilang DIAM!!" pekikku keras. Aku tak ingin mendengarkannya lagi, jangan buat aku ingat. Seketika ruangan ini hening, Qeyz hanya bisa terdiam melihatku. Mungkin ia akan menganggapku gila atau apa. Rupanya benar, aku sudah kehilangan akal sehatku. Sebaiknya aku dipasung atau mungkin dikurung didalam menara. Itu lebih baik dibandingkan keberadaanku disini. Tertunduk, tak ada yang bisa kulakukan.

    ..."Fal, kemarilah." tutur kata Qeyz membuatku tenang. Senyuman manis terlukis diwajahnya. Aku senang, aku dapat tertawa, aku bisa merasakan kesenangan. Karena ada seseorang yang selalu menemaniku...Qeyz.

    "Kau boleh bercerita padaku bila kau mau," tawarnya polos. Melihat wajahnya saja membuatku berusaha menahan tawa. Dan karenanya, aku merasa begitu bahagia. Tertawa lepas, seakan-akan ini adalah hal paling konyol yang pernah kulihat. Tidak. Dengan polosnya ia berusaha menghiburku.

    "Terima kasih, Qeyz. Kau membuatku tertawa." tertawa, itulah yang kini dapat kulakukan. Seperti orang bodoh saja. Aku menatap irisnya lembut, begitu juga dirinya. Mencium lembut bibirnya sekali lagi. Kini tangannya sengaja kulepas ikatannya agar dia bisa memelukku. Perlahan tanganku menjulur kebawah dan melepaskan celana yang dikenakan olehnya. Tiap detiknya ciuman ini makin memanas. Aku tak segan-segan melumat lidahnya dengan agresif. Sementara Qeyz sudah mulai mencoba melepasnya karena tak kuat.

    "Ngh...umh...Fa-faldione...ngah..."

    Tangannya melingkar di leherku. Matanya berusaha terpejam, sementara tanganku meraba tubuhnya tanpa meminta izin terlebih dahulu. Hasrat ini kian memuncak, hawa nafsu mulai menggerogoti pikiranku. Memberinya waktu sejenak untuk bernafas, begitu pula diriku yang sudah setengah terkuras. Terlalu lelah, tapi aku tak ingin menghentikannya.

    Melirik kebawah, menatap organ paling ujung yang kini seperti kembang kempis dan berwarna pink pucat (oke author menggila). Terkekeh pelan, aku memijatnya secara lembut. Kini terdengar erangan dari bibirnya yang cukup jelas. Memintaku untuk berhenti. "Tu-tuan...ngh...ah...be-berhenti..." desahan yang manis.

    "Teruslah mendesah. Ayo...atau aku akan menyiksamu lebih dari ini..." mengancam secara tanpa disadari olehnya. Menyeringai, jemariku mulai meremas lebih kuat. Kali ini bukan desahan, melainkan sebuah teriakan dari bibirnya. Ia mencengkram lenganku, meronta-ronta dan hampir menendang perutku.

    "Fa-fal! Be-berhenti...ngh...!" teriaknya memohon padaku. Tak sampai disitu, aku menghadapkan wajahku dengan organ miliknya. Kini mulutku mulai mengulumnya lembut. Menjilatnya dari pangkal hingga ujung. Perlahan aku memijat kembali miliknya itu. Aku tentu saja tak peduli berapa kali ia meneriakiku, "Keluarkan saja..." terkekeh pelan, kini kugigit secara perlahan bagian ujung organnya.

    "Fa-faldione... A-aku ingin ke toilet, SEKARANG!" teriaknya meronta karena tak tahan, tetap saja aku tak peduli. Tak lama, cengkramannya terlepas. Semua terjadi begitu cepat untuknya. Cairan berwarna putih dan hangat itu seketika memenuhi mulutku. Pahit, rasanya cukup aneh ketika kukecap di lidah ini. Melepasnya, dan kini masih ada sisa di bibirku. Langsung saja kujilat sebelum ia memarahiku.

    "E-erh... Tuan... Seharusnya kau tak memakannya..." merengut ketika melihatku yang sudah memperlakukannya seperti itu. Aku terkekeh, menarik selimut dan berbaring disampingnya. Membelai wajahnya lembut, dan mengecup bibirnya sekali lagi. Bagiku ini sama sekali tidak membuatku bosan atau apa. Memeluk tubuhnya, dan ditelinganya aku berbisik.

    "Kau adalah milikku. Jiwa dan ragaku adalah milikmu. Karena inilah, kita ditakdirkan untuk selalu bersama. Selamanya..."


    Janji yang telah diucapkan olehku tak akan pernah kuingkari seumur hidupku.


    TBC, nai~ habis ini cerita tentang bunuh-bunuhan =))
    Wilhelm Runettes
    Wilhelm Runettes
    Admin

    Posts : 41
    Join date : 29.08.10
    Age : 27

    Character sheet
    Character name: Wilhelm Runnetes
    Class: Vice Principal
    SP: STR = 9 DEF = 10 AGI = 10 INT = 10 INS = 10

    http://www.rulerofnabari.co.nr

    Kembali Ke Atas Go down

    [FFic] Einsamkeit (Loneliness) Empty Re: [FFic] Einsamkeit (Loneliness)

    Post by Sponsored content


    Sponsored content


    Kembali Ke Atas Go down

    Kembali Ke Atas

    - Similar topics

     
    Permissions in this forum:
    Anda tidak dapat menjawab topik